|
Selamat Jalan Guru Bangsa
”Jadilah bambu. Jangan jadi pisang. Daunnya lebar membuat anaknya tidak kebagian sinar matahari. Bambu
lain rela telanjang asal anaknya, rebung, pakaiannya lengkap.”
Metafora
itu berulang kali dilontarkan cendekiawan Nurcholish Madjid (66) dalam
berbagai kesempatan. Mengingatkan bangsa ini betapa pentingnya menunda
kesenangan untuk hari esok yang lebih baik. Menahan diri dari kemewahan dan
mementingkan pendidikan. ”Bila perlu orangtua melarat, tapi anaknya sekolah
dengan baik,” pesannya.
Cak Nur
tidak hanya berpesan, tetapi menyatakannya dalam kehidupan. Kedua anaknya melanjutkan pendidikan ke
Amerika Serikat hingga jenjang master. Kesederhanaan melekat kuat dalam
keseharian kehidupannya.
Sikapnya yang lurus tidak terbawa arus,
ajaran-ajaran bijak yang disuarakannya melintasi agama, usia, dan kelompok,
menjadikannya tempat bertanya berbagai kalangan masyarakat. Sikap pendidiknya
membuat siapa pun berdialog dengannya merasa pintar. Kini, itu tinggal
kenangan. Tidak akan ada lagi ajaran bijaknya, juga kritik bernas yang
disampaikan dengan santun. Cak Nur, panggilan akrab Nurcholish, telah
menghadap Sang Khalik, pukul 14.05 kemarin.
Dalam kondisinya yang semakin lemah, Cak Nur
meminta Nadia, putrinya, membimbingnya membaca ayat suci Al Quran, Surat
Al-Fatihah, dan Al-Ikhlas. ”Papa melafazkannya dengan baik sampai selesai.
Setelah itu Papa sangat tenang,” tutur Nadia.
Tidak ada pesan khusus kepada keluarganya.
”Cuma, sempat bilang mbok anak-anak belajar bahasa Arab supaya bisa memahami
Islam dengan benar,” kata Mbak Omi, panggilan akrab Omi Komariah, istrinya.
Cak Nur telah mengakhiri perjuangannya, selama
lebih dari satu tahun menghadapi sakit yang dideritanya, tanpa pernah
berkeluh kesah, setelah menjalani operasi transplantasi hati.
Memberi inspirasi
Dia bukan hanya cendekiawan, tetapi pemberi
inspirasi bagi bangsanya, dengan gagasan yang sering kali mendahului
zamannya. Tahun 1970, ketika semangat masyarakat berpartai menggebu, putra
sulung almarhum Abdul Madjid ini muncul dengan jargon ”Islam Yes, Partai
Islam No”, untuk melepaskan Islam dari klaim satu kelompok tertentu, dan
menjadi milik nasional. Namun, sedikit yang paham dengan gagasan ini,
menganggap Cak Nur mengembangkan sekularisme.
Tahun
1980-an, Cak Nur mendorong terjadinya check and balance dengan munculnya ide
oposisi loyal. Guru besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah,
Cak Nur
tak pernah surut mengembangkan intelektualitasnya. Lewat Paramadina,
dikembangkan komunitas intelektual dan merengkuh kelas menengah Muslim
Indonesia untuk lebih intensif mengkaji Islam.
Dengan
caranya, Cak Nur membuka jalan terwujudnya reformasi dengan menolak tawaran
duduk di Komite Reformasi, yang akan dibentuk Presiden Soeharto untuk
menghadapi tuntutan reformasi (1998). Penolakan itu meruntuhkan rencana
Soeharto bertahan sebagai presiden.
Kegundahan
terhadap kehidupan politik bangsa mendorong Cak Nur menyatakan siap mengikuti
pemilihan presiden pada Pemilu 2004, dan lahirlah 10 program membangun
Banyak
yang menyayangkannya karena akan ”mengotori” keberadaannya sebagai ”nurani”
bangsa.
”Saya
harus melakukannya. Ini pembelajaran bahwa proses (pemilu) dari awal harus
bersih, transparan, dan bukan sekadar berebut kekuasaan,” tuturnya kepada
Kompas ketika itu.
Cak Nur
banyak disalahpahami, tetapi dia tidak pernah surut.
Selamat
jalan guru bangsa....
Kepergian Setelah Mengabdi
Seorang
lagi dari deretan tokoh-tokoh kita telah meninggalkan lingkungan, setelah
lama menderita sakit: Dr Nurcholish Madjid.
Banyak
sekali orang yang merasa kehilangan dengan kepergiannya pada usia 66 tahun
itu. Padahal, itu adalah usia yang mencerminkan kematangan hidup,
terlebih-lebih pada masa penuh kesalahpahaman dan salah pengertian satu sama
lain, terkadang ”diwarnai” oleh ledakan bom dan lemparan granat.
Nurcholish
Madjid atau Cak Nur tetap konsisten dengan
Bahkan,
setelah ia meninggal pun, masih ada orang yang menganggapnya ia melakukan
hal-hal yang tidak pernah dikerjakannya selama hidup. Cercaan dan umpatan
seperti itu sudah menjadi hal yang biasa di telinganya sewaktu ia hidup.
Bahkan, setelah meninggal, masih ada yang—karena kekerdilan jiwa—mengatakan
secara lisan bahwa ia ”seharusnya sudah bertobat”. Padahal, yang seharusnya
melakukan hal itu bukanlah Cak Nur, melainkan orang itu sendiri. Bukankah
kitab suci Al Quran memuat salah satu sifat Allah. Kemampuan memberikan maaf
kepada siapa pun untuk kesalahan apa pun.
Di sinilah
terletak kebesaran Cak Nur. Ia berhasil mendidik kaum Muslimin pada umumnya
bahwa sifat yang seperti itulah yang harus dikembangkan terus dalam kehidupan
mereka.
Apakah
artinya ini? Artinya, bahwa kita semua harus mengikuti teladan yang
diperlihatkannya itu. Bahwa hampir seluruh kaum Muslimin di negeri ini
bersikap demikian, itu adalah bukti bahwa Cak Nur telah berhasil dengan
pendidikannya itu. Ia yang lahir di Desa Mojoduwur, Kecamatan Bareng, di
Jombang, Jawa Timur, itu akhirnya menjadi contoh bagi semua warga bangsa yang
berjumlah lebih dari 210 juta jiwa itu (menurut hitungan Prof Dr Prijono
Tjiptoherijanto)
Kita belum
lagi berbicara tentang Islam sebagai bidang kajian, tempat Cak Nur
menghabiskan umur, sebagai ilmuwan. Ia tidak mau berkompromi dengan politik
sama sekali. Orang boleh berbicara di sinilah terletak kekuatan Cak Nur, atau
sebaliknya menganggap itulah titik lemahnya.
Bagi
penulis, hal itu tidak penting benar karena ia tidak menjadi besar atau kecil
dalam hal ini. Ia akan tetap diakui sebagai salah satu pemegang otoritas
studi keislaman (Islamic studies) di negeri kita.
Tentu saja
ia punya sederet kesalahan karena ia adalah seorang anak manusia, tetapi
kesalahan-kesalahan itu tidaklah memudarkan namanya (atau menurunkan nilai
dirinya).
Ia adalah
orang besar karena ia memang demikian. Kini ia telah tiada, dan menjadi
kewajiban kita untuk mengembangkan nurcholish-nurcholish baru. Hanya dengan
cara demikian kita patut disebut pengikut Cak Nur di masa hidupnya.
Orang-orang
lain, termasuk mereka dari ”garis kekerasan”, adalah orang yang ditinggalkan
oleh perkembangan Islam, dan akan pudar dengan sendirinya ditelan masa.
Hari-hari Terakhir Cak Nur
Senin, 29
Agustus 2005, bertepatan dengan 24 Rajab 1426, pukul 14.05 WIB, Nurcholish
Madjid yang biasa dipanggil Cak Nur kembali ke pangkuan Ilahi. Sejak Cak Nur
operasi lever di China, dirawat di rumah sakit Singapura, sampai perawatan
intensif di Rumah Sakit Pondok Indah,
Sejak dari
Spirit keindonesiaan dan humanisme Cak Nur tak
diragukan lagi. Hal ini muncul sebagai buah penghayatan dan keyakinan akan
ajaran Islam. Karya-karya tulis Cak Nur menunjukkan perhatian yang amat besar
bagi tumbuhnya demokrasi modern di Indonesia dengan dasar nilai-nilai keislaman.
Di sinilah sumbangan pemikiran Cak Nur yang besar dan orisinal.
Persoalan bangsa
Berbagai teori ilmu sosial dan filsafat yang
dipelajari ujungnya diberi nilai dan fondasi keislaman, diambil dari Al Quran
dan khazanah Islam klasik. Pemahaman dan sikap Cak Nur yang demikian sering
disalahpahami sebagian tokoh Islam lain yang sering dikategorikan pendukung
faham skripturalis beraliran keras.
Ahad malam lalu saya menemuinya di rumah sakit.
Apa yang dipikirkan Cak Nur masih menyangkut persoalan bangsa. Omi Komaria,
istrinya, sempat merekam sebagian yang disampaikan Cak Nur di pembaringan.
Dia selalu menyampaikan keprihatinannya tentang kondisi bangsa yang telah
membuat rakyat sengsara. ”Yang harus selalu kita lakukan adalah bagaimana
membahagiakan orang lain,” kata Omi menirukan Cak Nur.
Membangun peradaban dan demokrasi tidak mungkin
terwujud tanpa suasana damai dan taat hukum, pesan Cak Nur yang diulangi
kembali oleh Nadia yang sengaja datang dari Washington.
Suatu hal yang membuat para dokter perawatnya
heran, semangat hidup Cak Nur amat tinggi, mengalahkan kepedihan sakit
fisiknya. Cak Nur tidak pernah mengeluhkan sakitnya dan tidak pernah
membantah nasihat dokter. Bahkan, Cak Nur sendiri yang sering menghibur
istrinya untuk bersabar karena apa yang dideritanya belum seberapa dibanding
apa yang menimpa para rasul Allah.
Matanya selalu berbinar saat bicara tentang
kondisi bangsa dengan teman-teman dekatnya. Hingga Senin pagi kemarin Cak Nur
dengan cerah masih bicara dengan teman-teman yang menjenguknya, ada Ginandjar
Kartasasmita, Try Sutrisno, dan Imaduddin Abdurrahim. Kepada anaknya, Nadia dan Mikel, serta menantunya, David, Cak Nur
berpesan agar mendalami bahasa Arab. Tanpa penguasaan bahasa Arab yang baik
akan menemui banyak kesulitan saat memahami Islam.
Pesan lain
sebelum ajal yang disampaikan pada Nadia dan David, ajaran Al Quran milik
semua bangsa, jangan dimonopoli oleh umat Islam. Tunjukkan kepada dunia,
Islam ajaran perdamaian dan kemajuan, bukan mengajarkan kekerasan.
Seorang demokrat
Sejak mengenal
dekat Cak Nur di Yayasan Paramadina akhir 1990, banyak sekali kesan dan
pelajaran yang saya peroleh. Antara lain, dia betul-betul seorang demokrat.
Dia akan menghargai pendapat siapa pun meski berseberangan asal disampaikan
dengan beradab, jangan memaksa orang lain untuk menerimanya. Kalau tidak
keterlaluan, Cak Nur hampir tidak pernah menjelekkan pribadi orang. Semua
temannya dipuji, terlebih jika ada anak muda yang suka menulis baik di surat
kabar maupun buku, biasanya Cak Nur akan memberi apresiasi secara terbuka.
”Dia itu hebat, amat potensial, calon pemikir masa depan”, adalah ungkapan
yang sering saya dengar.
Karena
sulit berkata tidak dan selalu ingin menggembirakan semua pihak, Cak Nur
diterima dan disenangi semua pihak. NU maupun Muhammadiyah menerima
kehadirannya, bahkan kalangan non-Muslim pun merasa dekat dan memperoleh
pengayoman Cak Nur. Sikap inklusif inilah yang sering menimbulkan salah paham
terhadap dirinya. Di mata umat Islam beraliran keras, Cak Nur dianggap lemah
dan terlalu toleran kepada agama lain. Di mata pemeluk agama lain, Cak Nur
dianggap santri tulen yang menyebarkan Islam secara sejuk, intelek, dan
simpatik.
Warisan
ijtihad politik Cak Nur yang amat fenomenal adalah saat menawarkan pemikiran:
”Islam Yes, Partai Politik Islam No” tahun 1970-an. Saat itu partai politik
hampir disakralkan bagai agama sehingga umat Islam wajib masuk partai politik
berbasis Islam. Padahal, kondisi dan perilaku elite partai saat itu tidak
mencerminkan akhlak mulia sehingga banyak umat Islam alergi pada parpol.
Untuk
mendobrak kejumudan umat dan agar Islam tidak selalu diidentikkan dan
dipersempit kiprahnya dengan gerakan parpol yang pengap serta sibuk berebut
jabatan, Cak Nur mengusung gerakan Islam kultural dengan jargon: ”Islam Yes,
Partai Politik No”.
Hemat
saya, pemilu tahun lalu menunjukkan, pemikiran Cak Nur tahun 1970-an masih
relevan, bahwa perjuangan Islam tidak bisa dihadapkan dengan agenda
pembangunan demokrasi dan bangsa sehingga jika parpol Islam dan dakwah Islam
ingin maju, harus ditopang kekuatan moral-intelektual serta keseriusan dan
kesanggupan memecahkan problem bangsa serta menciptakan perdamaian.
Selamat
jalan Cak Nur! Bukankah Cak Nur pernah mengajarkan kepada saya, kematian
adalah hari wisuda untuk memasuki tahapan hidup lebih tinggi? Bukankah
kematian tak ubahnya pulang mudik ke kampung halaman Ilahi yang lebih
membahagiakan?
Komaruddin
Hidayat: Anggota Dewan Guru Besar Universitas
Paramadina; Mantan Direktur Eksekutif Yayasan Paramadina
Wasiat Terakhir Cak Nur
Enam hari
sebelum berangkat berobat ke China, Cak Nur menulis surat kepada teman-teman
pendukung Yayasan Wakaf Paramadina. Surat itu berupa usul pengadaan usaha
penyegaran yayasan dan peremajaan para pendukung keorganisasiannya.
Untuk
sebagian orang, surat itu dianggap sebagai wasiat terakhir yang menggetarkan
hati, yang menerima surat tersebut dan melihat kondisi kesehatan Cak Nur di
China dan kemudian di Singapura.
Apa yang
dimaksud Cak Nur dengan penyegaran rupanya dapat dibaca pada lampiran surat
tersebut berjudul: Wawasan Paramadina dan Saran-Saran Penyegaran
Keorganisasian Lebih Lanjut.
Tentang
wawasan Yayasan Wakaf Paramadina, Cak Nur menjelaskan bahwa yayasan merupakan
lembaga yang dimaksudkan untuk mengemban dan mendorong kebebasan wacana, baik
terbuka maupun tertutup, tanpa menjadi partisan eksklusif untuk suatu
pendapat dari wacana bebas tersebut. Alasan Cak Nur bahwa kebebasan adalah
hak dan anugerah primordial atau primeval dari Sang Maha Pencipta,
sebagaimana dilambangkan dalam cerita kosmis ketika Tuhan mempersilakan Adam
dan Hawa masuk ke dalam surga (QS, 2: 35).
Dalam
pidato peresmian Kampus Universitas Paramadina dan setiap membuka
pra-training mahasiswa baru, Cak Nur selalu menjelaskan bahwa Universitas
Paramadina menyelenggarakan pendidikan dengan semboyan berdasar pada kitab
dan hikmah seperti tercantum dalam QS 4: 113. Dalam proses pembelajaran,
dosen dan mahasiswa memerlukan semangat kebebasan untuk punya keberanian
menerobos batas.
Cak Nur
sering mengungkapkan, hikmah atau ilmu adalah temuan para cerdik pandai dan
menjadi kekayaan peradaban kemanusiaan. Sebuah temuan adalah terobosan dari
temuan sebelumnya. Demikianlah terobosan demi terobosan diciptakan menjadi
etos cendekiawan. Terobosan hanya mungkin terjadi oleh keberanian menembus
batas.
Universitas
Paramadina yang baru lahir delapan tahun lalu diharapkan membangun budaya
penemuan ilmiah. Universitas memuliakan penelitian dan discovery. Mahasiswa
dan dosen bukan hanya belajar, tetapi juga melakukan penelitian, dan
diharapkan mencapai prestasi ilmiah tertinggi.
Inilah
yang dirumuskan sebagai universitas yang menawarkan pilihan atau alternatif.
Yang dimaksud adalah budaya universitas berbeda dari budaya konvensional
universitas di Indonesia. Hal ini dititipkan sebagai tantangan kepada sivitas
akademika Universtas Paramadina. Kepada pimpinan dan dosen pesan ini
diarahkan. Bahkan, kepada mahasiswa yang menjadi salah satu faktor untuk
membangun budaya baru akademis.
Dengan
kebebasan positif itu, kata Cak Nur, manusia akan berkesempatan berkenalan
dengan berbagai pendapat. Manusia dipujikan Allah untuk mendengarkan dan
memperhatikan berbagai pendapat itu, kemudian memilih mana yang terbaik.
"Maka berilah kabar gembira kepada hamba-hamba-Ku yang mendengarkan
pendapat, kemudian mengikuti yang terbaik di antaranya. Mereka itulah
orang-orang yang diberi petunjuk Allah, dan mereka itulah orang-orang yang
berpengertian mendalam." (QS 39: 18).
Firman
inilah yang menjadi dasar pandangan pluralisme yang dalam pengertian Cak Nur
adalah mengakui perbedaan dan kesediaan bergaul secara beradab, dengan mau
mendengar, menghormati pendapat orang lain, walaupun tidak sependapat.
***
Dalam
sebuah diskusi seorang cendekiawan muda mengritik Cak Nur berdasarkan
pendapat seorang ahli. Cak Nur memuji cendekiawan muda itu sebagai orang yang
punya disiplin ilmiah dengan mendasarkan pendapatnya pada pandangan seorang
ahli. Kemudian, Cak Nur menyampaikan pendapatnya sendiri.
Cendekiawan
muda ini sesumbar bahwa dia telah menundukkan Cak Nur dengan pendapatnya.
Begitu pluralisnya, dalam arti sopan dan santunnya Cak Nur sehingga
cendekiawan ini merasa Cak Nur telah menerima keyakinannya.
Begitulah
pluralisme diejawantahkan dalam pergaulan. Lawan yang tidak sependapat pun
merasa menghormati pendapatnya, bahkan merasa pendapatnya diterima Cak Nur.
"Inilah makna pluralisme," kata Cak Nur.
Karena
prinsip kebebasan itu, Paramadina bukanlah perkumpulan sektarian, yang secara
eksklusif mendukung pendapat tertentu. Lebih-lebih Paramadina bukanlah
gerakan kultus. Paramadina mendorong orang untuk dengan bebas mengembangkan
dan mendengar pendapat. Kemudian, setiap orang bebas pula memilih yang
terbaik di antaranya dengan bertanggung jawab dan tulus mengikuti suara hati
nurani.
Tanggung
jawab setiap orang di akhirat adalah bersifat pribadi mutlak, tanpa ada
jual-beli, persahabatan (kullah) ataupun perantara (syafaah). (lihat: QS 2:
254).
***
Cak Nur
meninggal dunia ketika orang takut kebebasan dan keberagaman (liberal dan
pluralisme). Pesan Cak Nur kepada teman-teman pendukung Paramadina bisa juga
menjadi seruan, sekaligus penjelasan bahwa paham kebebasan dan pluralisme
adalah hak dan anugerah primordial dari Sang Maha Pencipta.
Seorang
Nurcholish Madjid, jejak pendapatnya selalu segar dan relevan. Bukan dan tak
perlu diterima sebagai yang paling benar, tetapi patut direnungkan,
dipertimbangkan untuk menjadi pilihan hati nurani. Semoga menjadi amal soleh
yang diterima Allah.
*. Utomo
Dananjaya, pengajar pada Universitas Paramadina di Jakarta, dikenal sebagai
teman dekat Cak Nur saat mencetuskan Gerakan Pemikiran Keislaman pada 1970.
Dimakamkan saat Ultah Pernikahan
JAKARTA- Hari
ini, 36 tahun silam, Nurcholish Madjid muda resmi mempersunting Omi Komariah.
Pada 30 Agustus 1969 itu, mereka berdua menikah di Madiun, Jawa Timur. Tepat
tanggal ini pula, Omi mengantarkan sang belahan hatinya itu ke tempat
peristirahatan terakhir di TMP Kalibata, Jakarta Selatan.
Memang,
pemakaman Cak Nur hari ini bertepatan dengan ulang tahun pernikahannya.
Selain meninggalkan Omi, Cak Nur juga meninggalkan dua buah hatinya, Nadia
Madjid dan Mikail Madjid.
Cak Nur
-demikian mantan ketua PB HMI itu biasa dipanggil- mengembuskan napas
terakhir pukul 14.05 WIB di RS Pondok Indah dalam usia 66 tahun. Hari ini,
jenazah cendekiawan muslim itu dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.
Tadi
malam, jenazah pendiri Yayasan Paramadina itu disemayamkan di kampus
Universitas Paramadina. Keluarga, kawan dekat Cak Nur, dan tokoh nasional
terus berdatangan untuk bertakziah. Termasuk Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla. Presiden dan Wapres juga menyalati jenazah
tokoh yang dikenal karena pemikiran-pemikirannya tentang Islam yang moderat
dan pluralis itu.
Sebelum
meninggal, Cak Nur menyampaikan isyarat terakhirmya kepada sang istri
tercinta, Omi Komaria. Sabtu pagi, Omi yang menunggui Cak Nur di rumah sakit
tiba-tiba merasa gelisah. Tapi, wanita 50 tahun itu tak tahu sebabnya.
Omi
semakin gelisah saat memandikan Cak Nur sekitar pukul 07.00. Ketika itu Cak
Nur memberi tahu Omi agar bersiap-siap. Cak Nur mengatakan, ada mukhtadin
(orang-orang pilihan, Red) yang akan datang. "Kakak (Omi, Red) langsung
bertanya, siapa mukhtadin yang akan datang," ujar Nuri Widyawati, adik
Omi.
Dengan
suara pelan, Cak Nur menjawab bahwa mukhtadin itu adalah kiai dari Gontor.
Omi bertanya lagi, siapa nama kiai Gontor itu? "Almarhum bilang kiai
Gontor itu bernama Zarkasih," lanjutnya. Jawaban Cak Nur ini mengejutkan
Omi. Sebab, Kiai Zarkasih dari Pondok Pesantren Modern Gontor, Jatim, itu sudah
meninggal dunia.
Omi merasa
ajal sudah semakin mendekati Cak Nur. Dia mempunyai firasat Cak Nur akan
meninggalkan dunia. Mukhtadin tersebut datang untuk menjemput suaminya. Tapi,
ibu dari Nadia Madjid, 34 tahun, dan Ahmad Mikail Madjid, 32 tahun, itu
berusaha tetap tabah dan sabar. Dengan berat hati, Omi kemudian bertanya
kepada Cak Nur kapan mukhtadin-nya datang. "Cak Nur hanya menjawab 5
sampai 10 jam," cerita Nuri. Mungkin maksudnya mukhtadin itu
diperkirakan datang 5 sampai 10 jam kemudian.
Selain
berbicara tentang kedatangan mukhtadin, Cak Nur juga bercerita bahwa dia
melihat sebuah terowongan besar. Kondisi terowongan itu, agaknya, tak terurus
dan harus direnovasi. "Malah Cak Nur bilang terowongan itu perlu
dirapikan," lanjut Nuri. Tapi, Cak Nur tidak menjelaskan letak
terowongan itu. Juga tidak disebut bagian yang perlu dirapikan itu.
Tokoh asal
Jombang tersebut juga berkata melihat daging. Dia minta istrinya agar daging
itu diberikan kepada orang lain saja. Pihak keluarga berkesimpulan bahwa
almarhum ingin memperbanyak sedekah. "Kami sempat bingung almarhum mau
sedekah berupa barang atau uang," ucap perempuan 30 tahun itu. Belum
sempat pertanyaan itu terjawab, Cak Nur sudah bercerita arti sedekah.
Menurut
Cak Nur, sedekah diambil dari kata shodaqoh. Artinya, melakukan kebenaran.
Caranya bisa dengan menanamkan rasa benar kepada orang lain. Bisa pula dengan
menanamkan rasa suci kepada orang lain. Di akhir penjelasan, Cak Nur
mengatakan bahwa tindakan itu relevan dalam kehidupan. "Keluarga
langsung mengerti bahwa almarhum ingin kita melakukan sedekah. Tak harus
berupa uang atau barang, yang penting ikhlas," tambahnya.
Menurut
tim dokter RSPI, kondisi Cak Nur terus menurun sejak kemarin pagi.
"Bahkan, pukul 04.00, Cak Nur sempat tidak sadar," ujar Direktur
Medik RSPI dr Mus Aida.
Cak Nur
dirawat di RSPI sejak 15 Agustus lalu. Saat itu, keluhannya mual dan muntah.
Dokter Widodo Suprapto, salah seorang dokter yang merawat Cak Nur, mengatakan
bahwa kesehatan Cak Nur terus memburuk karena mengalami kegagalan fungsi hati
dan ginjal. Sebelumnya, 27 Juli 2004, Cak Nur menjalani transplantasi hati
(lever) di RS Taiping, Guangzhou, China. "Kelainan hatinya kembali
kambuh. Dan, ini mengganggu fungsi fisik beliau, termasuk fungsi
ginjal," katanya.
Istri dan
kedua anaknya terlihat tabah dengan kepergian Cak Nur. "Kami sudah
ikhlas," ujar Omi dengan mata berkaca-kaca. Menurut Omi, sebelum
meninggal, Cak Nur sempat berpesan kepada putra-putrinya, Nadia dan Mikail,
agar memperdalam belajar bahasa Arab. "Dengan berbisik, Bapak mengatakan
itu penting agar bisa memahami Al Quran," ujarnya.
Menjelang
kepergiannya, Cak Nur meminta dibimbing membaca surat Al Fatihah dan Al
Ikhlas. Kemudian, Cak Nur mengatakan ikhlas. Lalu, dia tersenyum lima kali
sebelum pergi. "Saya tidak menyangka kalau itu senyum terakhir
Bapak," kata Omi.
Para
pelayat terus berdatangan untuk memberikan penghormatan terakhir kepada Cak
Nur. Selain Presiden SBY dan Wapres Kalla, tampak Ketua MPR RI Hidayat
Nurwahid, Gus Dur, Bagir Manan, Bachtiar Chamsyah, Akbar Tandjung, dan
Harmoko. Bersama ratusan pelayat lain, mereka bersalat jenazah yang diimami
Quraish Shihab.
Komaruddin
Hidayat, sahabat Cak Nur yang juga melayat, menyimpan kenangan mendalam
terhadap pribadi almarhum. Dia sangat terkenang dengan pertemuan terakhirnya.
"Saya sempat berkomunikasi dengan Cak Nur pada Minggu malam
(29/8)," ujarnya.
Saat itu,
Komaruddin sudah berfirasat bahwa Cak Nur akan meninggal. Sebab, beberapa
kali Cak Nur menyebut nama teman-teman serta kerabatnya yang sudah meninggal.
"Kata orang Jawa, itu tanda-tanda orang mau meninggal," katanya.
Salah satu
nama yang disebut Cak Nur adalah almarhum KH Zarkasi. Menurut dia, Zarkasi
adalah tokoh yang secara intelektual sangat berpengaruh pada pribadi Cak Nur.
"Kiai Zarkasi itu guru Cak Nur ketika mondok di Gontor," jelas
Komaruddin.
Yang
membuat dia terharu adalah suara terbata-bata Cak Nur saat menyampaikan
analogi pohon pisang dan pohon asam. Cak Nur menyatakan, pohon pisang adalah
simbol semangat juang yang tinggi, namun egois. Ia akan terus tumbuh sampai
berbuah, tapi hanya untuk dirinya. Sedangkan pohon asam, meski berbuah kecil
dan asam, ia mengayomi dan membuat teduh semua di bawahnya.
"Bagi
saya, beliau itu ibarat pohon asam yang meski buahnya kecil, tapi bisa
mengayomi banyak orang," ujarnya.
Wapres
Jusuf Kalla mengucapkan turut berbelasungkawa atas meninggalnya Cak Nur yang
disebutnya sebagai tokoh umat dan tokoh bangsa itu. Dalam diri Cak Nur, semua
itu bersatu. Sulit mencari bandingan tokoh tersebut.
Syafi'i
Ma'arif juga merasa kehilangan. Mantan ketua PP Muhammadiyah itu adalah karib
Cak Nur semasa mereka bersekolah di Chicago University, AS. Gus Dur pernah
menyebut Cak Nur, Syafi'i, dan Amien Rais sebagai Tiga Pendekar dari Chicago.
"Semoga Cak Nur khusnul khatimah. Ini kehilangan yang berat bagi bangsa.
Beliau adalah tokoh moderat dan berprinsip. Bukan hanya cendekiawan muslim,
tapi juga cendekiawan Indonesia," tegasnya.
Syafi'i
mendengar informasi meninggalnya Cak Nur saat dirinya masih di Jogjakarta.
Dia langsung terbang menuju Jakarta tadi malam. "Beliau layak dimakamkan
di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Ini kehilangan bangsa," ungkapnya.
Ketua MUI
Umar Shihab mengatakan, "Kita kehilangan tokoh yang punya pemikiran yang
sangat baik mengenai umat Islam, meskipun ada yang menggelitik tentang pandangannya.
Tapi, itu biasa."
Ketua PB
NU Hasyim Muzadi mengungkapkan, Cak Nur adalah seorang muslim yang mampu
mengemas Islam dalam denyut humanisme serta humanitas. Hal itu tidak banyak
bisa dilakukan orang. "Sehingga, yang disampaikan Cak Nur selalu mengalir
dan bisa disampaikan siapa pun. Pikiran Cak Nur harus diteruskan,"
katanya.
Tokoh
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang kini menjabat Ketua MPR Hidayat Nurwahid
mempunyai kenangan dengan Cak Nur. Dia sempat tujuh hari tinggal bersama Cak
Nur dalam sebuah seminar di Riyahd beberapa saat lalu.
"Beliau
tidak kikir dalam ilmu dan pengalaman. Inti pesan dari Cak Nur, kita hidup di
Indonesia yang plural. Hanya, jangan sampai dengan dalih pluralisme, kita
memaksakan kehendak kepada orang lain," ujarnya. (abi/naz/ai)
Mengenang Pembaruan-Islam Cak Nur
Inna
lillahi wa inna ilaihi raajiun. Nurcholish Madjid (Cak Nur) kemarin berpulang
ke rahmatullah. Bapak pembaruan pemikiran Islam itu meninggal dunia pada usia
66 tahun.
Mengenang
sosok almarhum tidak bisa dipisahkan dari munculnya gerakan pembaruan
pemikiran Islam pada 35 tahun silam. Mengenang gerakan itu kurang pas jika
tak menyebut nama besar Cak Nur. Mengabaikan Cak Nur sama seperti garam tanpa
asin.
Dia
dinisbatkan sebagai gerbong pembaruan karena pada awal dekade 70-an
menggelontorkan gagasan rasionalisasi-agama sebagai jargon dari gerakan
pembaruan-Islam. Pada acara halalbihalal organisasi muda Islam, Cak Nur
memberikan ceramah berjudul Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah
Integrasi Umat di Jalan menteng Raya No 58, Jakarta Pusat. Gagasan yang
ditebarkan cukup menggetarkan karena tak lazim. Dia bicara soal
rasionalisasi, sekulerisasi, desakralisasi, modernisasi-Islam, dll.
Menurut
Cak Nur, sekulerisasi berarti rasionalisasi-agama, dalam arti mengartikulasi
pesan-pesan moral agama pada tataran realitas kehidupan. Sementara itu,
modernisasi tidaklah identik dengan westernisasi, tetapi merupakan spirit
yang hendaknya memacu umat Islam untuk berbuat seperti dalam
kemajuan-pencerahan yang terjadi di Barat (Tarekat Nurcholisy: 2001).
Gagasan-gagasan
itu kemudian mendapatkan kritik dan serangan bertubi-tubi dari kelompok
skripturalis-tekstualis muslim, di antaranya dari kelompok Dewan Dakwah. H M.
Rasjidi merupakan salah satu pentolannya. Rasjidi adalah seorang sarjana
muslim dari Universitas di Prancis dan penerjemah buku-buku bahasa Prancis ke
dalam bahasa Indonesia.
Sebaliknya,
kritik bertubi-tubi tak membuat surut Cak Nur. Gagasannya di awal 1970-an,
misalnya, dipertegas lagi setelah Cak Nur merampungkan studi di Universitas
Chicago awal dekade 80-an.
Pada saat
itu, Cak Nur banyak menawarkan pendekatan baru yang dianggap "tak
lazim" dalam ajaran Islam, yaitu kesemuanya lahir dari tafsir dan
konsekuensi terhadap gagasan rasionalisasi-agama. Sebuah gagasan R. William
Liddle (1995) yang mereduksi dari Robert N. Bellah, seorang sosiolog-agama
kenamaan dari Amerika. Gagasan itu, menurut Liddle, dielaborasi Cak Nur dalam
makalah kerjanya ketika berada di perjalanan dari Chicago.
***
Setelah
pulang dari Chicago, lantas banyak kalangan skripturalis-tekstualis muslim
yang merasa tak salah menduga bahwa Cak Nur memang agen orientalis. Sebab,
kampus Chicago di dunia Islam terkenal sebagai sarang para orientalis
kenamaan, seperti Wilfred Cantwell-Smith, Marshal G. S. Hodgson. Selain itu,
di sana juga ada pemikir muslim yang menjadi gerbong modernisasi dan
pembaruan-Islam karena mendekati agama dengan jalan rasional, seperti Fazlur
Rahman.
Cak Nur,
sebagai salah satu mantan murid Rahman, seperti juga Amien Rais dan Syafii
Maarif, secara otomatis mengikuti gaya pemikiran Rahman yang rasional.
Tampaknya dari Rahman itulah, bukan dari Bellah seperti pendapat Liddle, Cak
Nur mendapat inspirasi awal mengenai gagasan rasionalisasi agama.
Gayung pun
bersambut. Cak Nur rupanya tak hanya dikritik. Namun, banyak pula sambutan
hangat yang datang dari kalangan-kalangan yang sepaham dengannya. Kalangan
yang sepaham itu, pada substansinya, adalah orang-orang yang tidak mau lagi
memahami Islam secara mainstream dan selama itu dianggap otoritatif.
Pendekatan
terhadap Islam nonmainstream yang dianggap tak otoritatif itu, ternyata,
lebih menyegarkan dan relevan dengan gejolak pemikiran-pemikiran liar di
kalangan aktivis muda Islam khususnya. Keliaran pemikiran terjadi akibat
persinggungan tradisi dan khasanah pemikiran modern dari Barat.
Pengikut
Cak Nur yang setia dan paling awal datang dari kalangan aktivis-muslim,
katakanlah seperti Djohan Effendi, M. Dawam Rahardjo, Utomo Dananjaya, Adi
Sasono, Eki Syachrudin dan orang-orang yang pernah bergabung di Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) atas latar pemikiran yang sejalan dengan Cak Nur.
Mereka
dikatakan seperti itu karena tak sedikit juga di HMI yang tak sejalan dengan
gagasan-gagasan pembaruan Cak Nur. Oleh Greg Barton (1999) kemudian dipilah
orang-orang yang masuk kelompok neomodernis dan orang-orang yang dikategorikan
substansialis. Namun, keduanya sama-sama memperjuangkan gerakan
pembaruan-Islam di Indonesia.
Kelompok
neomodernis dinisbatkan karena telah memperbarui kalangan modernis-muslim
yang menggelontorkan gagasan modernisasi-Islam. Tokohnya adalah Fazlur Rahman.
Kelompok neomodernis, menurut Barton, terbentuk karena mereka tak hanya punya
akses dalam khasanah tradisi intelektual Barat-modern. Namun, juga punya
akses yang cukup luas dari khasanah tradisi klasik-pesantren.
Kelompok
substansialis, menurut Barton, punya akses besar terhadap khasanah
intelektual Barat-modern, tapi kurang mendapatkan akses khasanah intelektual
klasik-Islam. Kelompok neomodernis diwakili oleh orang seperti Cak Nur
sendiri, kemudian Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Yang mewakili kelompok substansialis
adalah M. Dawam Rahardjo, Adi Sasono, dll.
***
Dalam
perjalanannya, gerakan pembaruan-Islam Cak Nur dianggap bukan suatu barang
baru. Sebab, lama sebelum Cak Nur memelopori gerakan pembaruan, Muhammadiyah
sebagai salah satu ormas Islam terbesar juga mengklaim sebagai gerakan
pembaru.
Kategori
umum mengenai gerakan pembaruan lantas juga merujuk pada gerakan
salafi-Wahabi di Arab yang kemudian membentuk Kerajaan Saudi pengklaim
penjaga dua kota suci Makkah-Madinah. Jika dirujuk masa awalnya, gerakan
pembaruan dipelopori Rifaat Tahtawi, Jamaluddin Afghani, Muhammad Abduh, dan
Rasdyid Ridha di Mesir.
Menurut
Thoha Hamim, ciri umum gerakan pembaruan, antara lain, kembali kepada ajaran
Quran, sunnah, dan tradisi salaf, menolak praktik-praktik taklid (ittiba’),
berpikir rasional yang menafsir sumber-sumber ajaran Islam secara aktual, dan
yang paling menonjol tentu saja memerangi bidah dan khurafat. (Thoha Hamim,
Moenawar Chalil’s Reformist Thought, 2000)
Memang,
geneologi gerakan pembaruan beserta ciri umumnya itu turut serta
menginspirasi gerakan pembaruan Cak Nur. Namun, untuk menggeneralisasi
kesamaan secara menyeluruh juga tak dapat dibenarkan. Jadi di sini, model
pembaruan di Mesir berbeda dengan pembaruan ala Wahabi di Arab Saudi, begitu
pula pembaruan ala Wahabi berbeda dengan Muhammadiyah di Indonesia. Akhirnya,
gerakan pembaruan Muhammadiyah berbeda pula dengan pembaruan Cak Nur.
Meski
semua gerakan pembaruan itu mengklaim pewaris generasi salafi, salafi di Arab
Saudi berbeda dengan salafi Muhammadiyah. Jika salafi di Arab Saudi berarti
Wahabisme fanatik, radikal, dan tak toleran serta tak akomodatif dengan
mazhab di luar mazhab Wahabi itu sendiri, salafi Muhammadiyah justru
sebaliknya. Yakni, bersifat moderat, tradisional, dan akomodatif-demokratis.
Bahkan,
organisasi terbesar lainnya, seperti Nahdlatul Ulama (NU) "saudara
kandung Muhammadiyah" tak hanya akomodatif, tapi juga oportunis dalam
soal komparasi mazhab fikih.
Berbeda
jauh dengan itu, salafi pembaruan Cak Nur bahkan melampaui salafisme Muhammadiyah
maupun NU sekalipun. Salafi pembaruan Cak Nur lazimnya bersinggungan dengan
modernitas Barat yang didapat dari hasil persinggungan dengan dunia
akademis-nontradisional.
Karena
pembaruan Cak Nur lahir dari kampus, maka konsekuensinya, dalam jumlah masif,
banyak "Cak Nur muda" di masa sekarang yang mengikuti jejak
langkahnya. Dalam pelbagai warna, pembaruan Cak Nur ditafsirkan oleh mereka
sehingga lahir pula tafsir yang lebih mengerucut terhadap pembaruan Cak Nur,
entah mereka yang kemudian menamakan kelompok postradisionalisme-Islam
(Postra), Islam-liberal (Islib) maupun Islam-progresif.
Yang
jelas, pembaruan Cak Nur dikatakan cukup berhasil karena tak hanya
memperkenalkan model rasionalitas berpikir dalam mendekati agama, tapi juga
berhasil mengelaborasi dan mendemonstrasi.
|
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
0 comments:
Post a Comment