Cerita di Balik
Mundurnya Soeharto
TANGGAL
21 Mei 1998, pukul 09.00 WIB, semua perhatian tertuju ke credentials room
di Istana Merdeka, Jakarta .
Saat itu, Presiden Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya. Dalam pidato yang
singkat, Soeharto antara lain mengatakan, Saya memutuskan untuk menyatakan
berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden
RI , terhitung sejak saya bacakan
pernyataan ini pada hari ini, Kamis 21 Mei 1998.
Pengumuman
pengunduran diri Soeharto Kamis pagi itu sesungguhnya tidaklah terlalu
mengejutkan, karena sehari sebelumnya sudah ramai dibicarakan bahwa Presiden
Soeharto akan mengundurkan diri. Yang menjadi pertanyaan, apa yang mendorong
Soeharto akhirnya memutuskan untuk mundur? Karena, beberapa hari sebelumnya,
Soeharto masih yakin dapat mengatasi keadaan.
Kejutan
ke arah mundurnya Soeharto diawali oleh keterangan pers Ketua DPR/MPR Harmoko
usai Rapat Pimpinan DPR, Senin (18/5) lalu.
Tanggal
18 Mei 1998
Pukul
15.20 WIB, Harmoko di Gedung DPR, yang dipenuhi ribuan mahasiswa, dengan suara
tegas menyatakan, demi persatuan dan kesatuan bangsa, pimpinan DPR, baik Ketua
maupun para Wakil Ketua, mengharapkan Presiden Soeharto mengundurkan diri
secara arif dan bijaksana. Harmoko saat itu didampingi seluruh Wakil Ketua DPR,
yakni Ismail Hasan Metareum, Syarwan Hamid, Abdul Gafur, dan Fatimah Achmad.
Namun,
kejutan yang disambut gembira oleh ribuan mahasiswa yang mendatangi Gedung DPR
itu, tidak berlangsung lama. Karena malam harinya, pukul 23.00 WIB Menhankam/
Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto mengemukakan, ABRI menganggap pernyataan
pimpinan DPR agar Presiden Soeharto mengundurkan diri itu merupakan sikap dan pendapat
individual, meskipun pernyataan itu disampaikan secara kolektif.
Walaupun
sikap ABRI itu disampaikan setelah Wiranto memimpin rapat kilat dengan para
Kepala Staf Angkatan dan Kapolri serta para panglima komando, tetapi diketahui
bahwa pukul 17.00 WIB Panglima ABRI bertemu dengan Presiden Soeharto di
kediaman Jalan Cendana. Dengan demikian, muncul dugaan bahwa apa yang
dikemukakan Wiranto itu adalah pendapat Presiden Soeharto.
Pukul
21.30 WIB, empat Menko diterima Presiden Soeharto di Cendana untuk melaporkan
perkembangan. Mereka juga berniat menggunakan kesem-patan itu untuk menyarankan
agar Kabinet Pembangunan VII dibubarkan saja, bukan di-reshuffle.
Tujuannya, agar mereka yang tidak terpilih lagi dalam kabinet reformasi tidak
terlalu "malu". Namun, niat itu - mungkin ada yang membocorkan -
tampaknya sudah diketahui oleh Presiden Soeharto. Ia langsung mengatakan,
"Urusan kabinet adalah urusan saya." Akibatnya, usul agar kabinet
dibubarkan tidak jadi disampaikan. Pembicaraan beralih pada soal-soal yang
berkembang di masyarakat.
Tanggal
19 Mei 1998
Pukul
09.00-11.32 WIB, Presiden Soeharto bertemu ulama dan tokoh masyarakat, yakni
Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama Abdurrahman Wahid, budayawan Emha Ainun Nadjib,
Direktur Yayasan Paramadina Nurcholish Madjid, Ketua Majelis Ulama Indonesia
Ali Yafie, Prof Malik Fadjar (Muhammadiyah), Guru Besar Hukum Tata Negara dari
Universitas Indonesia Yusril Ihza Mahendra, KH Cholil Baidowi (Muslimin
Indonesia), Sumarsono (Muhammadiyah), serta Achmad Bagdja dan Ma'aruf Amin dari
NU.
Usai
pertemuan, Presiden Soeharto mengemukakan, akan segera mengadakan reshuffle
Kabinet Pembangunan VII, dan sekaligus mengganti namanya menjadi Kabinet
Reformasi. Presiden juga membentuk Komite Reformasi. Nurcholish sore hari
mengungkapkan bahwa gagasan reshuffle kabinet dan membentuk Komite
Reformasi itu murni dari Soeharto, dan bukan usulan mereka.
Dalam
pertemuan ini, sesungguhnya tanda-tanda bahwa Soeharto akan mengundurkan diri
sudah tampak. Namun, ada dua orang yang tidak setuju bila Soeharto menyatakan
mundur, karena dianggap tidak akan menyelesaikan masalah.
Pukul
16.30 WIB, Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita bersama Menperindag Mohamad Hasan
melaporkan kepada Presiden soal kerusakan jaringan distribusi ekonomi akibat
aksi penjarahan dan pembakaran. Bersama mereka juga ikut Menteri Pendayagunaan
BUMN Tanri Abeng yang akan melaporkan soal rencana penjualan saham BUMN yang
beberapa peminatnya menyatakan mundur.
Pada
saat itu, Menko Ekuin juga menyampaikan reaksi negatif para senior ekonomi;
Emil Salim, Soebroto, Arifin Siregar, Moh Sadli, dan Frans Seda, atas rencana
Soeharto membentuk Komite Reformasi dan me-reshuffle kabinet. Mereka
intinya menyebut, tindakan itu mengulur-ulur waktu.
Tanggal
20 Mei 1998
Pukul
14.30 WIB, 14 menteri bidang ekuin mengadakan pertemuan di Gedung Bappenas. Dua
menteri lain, yakni Mohamad Hasan dan Menkeu Fuad Bawazier tidak hadir. Mereka
sepakat tidak bersedia duduk dalam Komite Reformasi, ataupun Kabinet Reformasi
hasil reshuffle. Semula ada keinginan untuk menyampaikan hasil pertemuan
itu secara langsung kepada Presiden Soeharto, tetapi akhirnya diputuskan
menyampaikannya lewat sepucuk surat .
Pukul
20.00 WIB, surat
itu kemudian disampaikan kepada Kolonel Sumardjono. Surat itu kemudian disampaikan kepada Presiden
Soeharto. Soeharto langsung masuk ke kamar dan membaca surat itu. Soeharto saat itu benar-benar
terpukul. Ia merasa ditinggalkan. Apalagi, di antara 14 menteri bidang Ekuin
yang menandatangani surat
ketidaksediaan itu, ada orang-orang yang dianggap telah
"diselamatkan" Soeharto.
Ke-14
menteri yang menandatangani - sebut saja Deklarasi Bappenas - itu, secara
berurutan adalah Ir Akbar Tandjung; Ir Drs AM Hendropriyono SH, SE, MBA; Ir
Ginandjar Kartasasmita; Ir Giri Suseno Hadihardjono MSME; Dr Haryanto Dhanutirto;
Prof Dr Ir Justika S. Baharsjah M.Sc; Dr Ir Kuntoro Mangkusubroto M.Sc; Ir
Rachmadi Bambang Sumadhijo; Prof Dr Ir Rahardi Ramelan M.Sc; Subiakto
Tjakrawerdaya SE; Sanyoto Sastrowardoyo M.Sc; Ir Sumahadi MBA; Drs Theo L.
Sambuaga; dan Tanri Abeng MBA.
Alinea pertama surat itu, secara implisit meminta
agar Soeharto mundur dari jabatannya. Perasaan ditinggalkan, terpukul, telah
membuat Soeharto tidak mempunyai pilihan lain kecuali memutuskan untuk mundur.
Soeharto benar-benar tidak menduga akan menerima
surat seperti itu. Persoalannya, sehari sebelum surat itu tiba, ia masih
berbicara dengan Ginandjar untuk menyusun Kabinet Reformasi. Ginandjar masih
memberikan usulan tentang menteri-menteri yang perlu diganti, sekaligus nama
penggantinya.
Probosutedjo, adik Soeharto, yang berada di
kediaman Jalan Cendana, malam itu, mengungkapkan, Soeharto pada malam itu
terlihat gugup dan bimbang. "Pak Harto gugup dan bimbang, apakah Habibie
siap dan bisa menerima penyerahan itu. Suasana bimbang ini baru sirna setelah
Habibie menyatakan diri siap menerima jabatan Presiden," ujarnya.
Probosutedjo menggambarkan suasana di kediaman
Soeharto malam itu cukup tegang. Perkembangan detik per detik selalu diikuti
dan segera disampaikan ke Soeharto. Dikatakan, "Saya berusaha memberikan
informasi terkini, tentang tuntutan dan permintaan yang terjadi di DPR,
informasi bahwa akan ada orang-orang yang bergerak ke Monas, serta perkembangan
dari luar negeri," ujar Probosutedjo, seraya menambahkan bahwa pada saat
itu semua anak-anak Soeharto berkumpul di Jalan Cendana. Soeharto kemudian
bertemu dengan tiga mantan Wakil Presiden; Umar Wirahadikusumah, Sudharmono,
dan Try Sutrisno.
Pukul
23.00 WIB, Soeharto memerintahkan ajudan untuk memanggil Yusril Ihza Mahendra,
Mensesneg Saadillah Mursjid, dan Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto. Soeharto
sudah berbulat hati menyerahkan kekuasaan kepada Wapres BJ Habibie.
Wiranto
sampai tiga kali bolak-balik Cendana-Kantor Menhankam untuk menyikapi keputusan
Soeharto. Wiranto perlu berbicara dengan para Kepala Staf Angkatan mengenai
sikap yang akan diputuskan ABRI dalam menanggapi keputusan Soeharto untuk
mundur. Setelah mencapai kesepakatan dengan Wiranto, Soeharto kemudian
memanggil Habibie.
Pukul
23.20 WIB, Yusril Ihza Mahendra bertemu dengan Amien Rais. Dalam pertemuan itu,
Yusril menyampaikan bahwa Soeharto bersedia mundur dari jabatannya. Yusril juga
menginformasikan bahwa pengumumannya akan dilakukan Soeharto 21 Mei 1998 pukul
09.00 WIB.
Dalam
bahasa Amien, kata-kata yang disampaikan oleh Yusril itu, "The old man
most probably has resigned". Kabar itu lalu disampaikan juga kepada
Nurcholish Madjid, Emha Ainun Najib, Utomo Danandjaya, Syafii Ma'arif, Djohan
Effendi, H Amidhan, dan yang lainnya. Lalu mereka segera mengadakan pertemuan
di markas para tokoh reformasi damai di Jalan Indramayu 14 Jakarta Pusat, yang
merupakan rumah dinas Dirjen Pembinaan Lembaga Islam, Departemen Agama, Malik
Fadjar. Di sana
Cak Nur - panggilan akrab Nurcholish Madjid - menyusun ketentuan-ketentuan yang
harus disampaikan kepada pemerintahan baru.
Pukul
01.30 WIB, Amien Rais dkk mengadakan jumpa pers. Dalam jumpa pers itu Amien
mengatakan, "Selamat tinggal pemerintahan lama, dan selamat datang
pemerintahan baru". Keduanya menyambut pemerintahan transisi yang akan
menyelenggarakan pemilihan umum hingga Sidang Umum MPR untuk memilih pemimpin
nasional yang baru dalam jangka waktu enam bulan.
Tanggal
21 Mei 1988
Soeharto
mengumumkan pengunduran dirinya. Kekecewaannya tergambar jelas dalam pidato
pengunduran dirinya, ... Saya telah menyatakan rencana pembentukan Komite
Reformasi dan mengubah susunan Kabinet Pembangunan ke-7, namun demikian
kenyataan hingga hari ini menunjukkan Komite Reformasi tersebut tidak dapat
terwujud, karena tidak adanya tanggapan yang memadai terhadap rencana
pembentukan komite tersebut.
Dalam
keinginan untuk melaksanakan reformasi dengan cara-cara sebaik-baiknya tadi,
saya menilai bahwa dengan tidak dapat diwujudkannya Komite Reformasi, maka
perubahan susunan Kabinet Pembangunan VII menjadi tidak diperlukan lagi.
Dengan
memperhatikan keadaan di atas, saya berpendapat sangat sulit bagi saya untuk
dapat menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik. Oleh
karena itu dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945 dan secara
sungguh-sungguh memperhatikan pandangan pimpinan DPR dan pimpinan Fraksi-fraksi
yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan
saya sebagai Presiden RI.
Seusai
Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya, dan BJ Habibie mengucapkan sumpah
sebagai Presiden, Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto dalam pidatonya
menyatakan, ABRI akan tetap menjaga keselamatan dan kehormatan para mantan
Presiden/Mandataris MPR, termasuk mantan Presiden Soeharto dan keluarga.
0 comments:
Post a Comment