Sejarah Tgk.Dirundeng Meulaboh






TEUNGKU SYIK DIRUNDENG MEULABOH

  1. Silsilah
Silsilah keturunan Teungku Syik Dirundeng1 berasal dari Aceh Besar. Ia terlahir di suatu desa yang dekat dengan lalu lalang kapal-kapal udara pulang pergi ke dalam dan luar negeri, tepatnya Desa Cot Mancang, Blang Bintang Aceh Besar. (sebuah kawasan pelabuhan penerbangan internasional Sultan Iskandar Muda).2 Tidak diketahui persis nama ayah dan ibunya. Namanya adalah T. Teungku Abdullah yang sering dipanggil dengan lakab Teungku Syik Dirundeng.
Diperkirakan pada tahun 1803 Masehi ketika Kerajaan Aceh dipegang oleh Sulthan/Raja Alaiddin Djauhar Alam Sjah (1217-1245 H =1802-1830 M) dari pasangan ....dan ...... dari hasil perkawinan mereka, Allah mengkaruniai dua saudara. Teungku Syik Dirundeng anak kedua. ia terlahir dari keluarga terhormat, karena ayah dan ibunya berhubungan famili dengan ulama-ulama di kawasan Aceh Besar.
Aceh Besar serang sekali bergolak dan selalu melawan kekuatan kafir Belanda yang menyebabkan T. Teungku Abdullah berangkat ke Aceh Selatan (Desa Rundeng di Singkel) untuk memperdalam ilmu agama Islam. Ketika kembali dari menuntut ilmu di Rundeng Singkel (Kota Subulussalam sekarang), T. Teungku Abdullah kawin dengan salah seorang putri di Meukek (Aceh Selatan). Karena beliau mempersuntingkan gadis yang berdomisili Meukek, maka ia sering dipanggil Teungku Meukek. Selama tinggal di Meukek, T. Teungku Abdullah mengajar ilmu agama Islam di Batee Tunggai (Kecamatan Sawang sekarang), dan karena inilah beliau dipangging oleh murid-murid dan pengikutnya dengan ”Teungku Batee tunggai”. Dari hasil perkawinanya itu, ia memperoleh dua orang anak yaitu Teungku Muhammad Thaher, sementara seorang lagi tidak diketahui namanya. Karena gempuran Belanda3 semakin gencar, dan salah seorang sasaran penangkapan yang diincar Belanda adalah T. Teungku Abdullah, akhirnya beliau pindah ke Meulaboh, tepatnya di kompleks Masjid Nurul Huda sekarang.4 Kemudian beliau pindah ke tempat yang kira-kira tiga kilometer dari kota Meulaboh dan mengajarkan pengajian juga di sana yaitu Gampong Ujong Tanoh Darat atau biasa disebut oleh masyarakat dengan Dolog, atau Ujong Kuta, maksud ”kuta,” dan di sini adalah tempat T. Teungku Dirundeng membina dan mengajarkan ilmu agama kepada masyarakat yang ada di situ atau orang-orang di berbagai pelosok Aceh Barat mencari ilmu.5 Dahulu Ujong Kuta atau Gampong Ujong Tanoh Darat itu masih tunduk dalam wilayah Gampong Rundeng.

Di Meulaboh beliau nikah dengan adek Uleebalang Meulaboh yang bernama....... dimana Uleebalang Meulaboh waktu itu dipegang oleh T. Chik Ali Akbar. Dari hasil perkawinannya itu, dianugerahi Allah seorang anak perempuan yang bernama Cut Ubit (sering juga orang memanggilnya dengan Nekja Ubit).6 Cut Ubit kawin dengan Uleebalang Bubon yaitu T. Rayeuk. Dari hasil perkawinan mereka dikaruniai seorang putra yang bernama T. Raja Cut. Setelah T. Rayeuk meninggal, Cut Ubit kawin lagi dengan T. Ali (Uleebalang Bubon yang menggantikan posisi T. Rayeuk karena meninggal dunia). Keluarga ini mendapatkan keturunan yang bernama T. Raja Sulaiman7 (sering disebut dengan Raja leman, ia mempunyai bengkel mobil di Medan dan sebelum meninggal, ia pulang ke Meulaboh bersilaturrahmi dengan sejumlah familinya, lalu kemudian Allah menakdirkan beliau tidak berumur panjang hingga ajalnya sampai di sini dan meninggal di Medan juga. Beliau memiliki rumah di Cot Darat-Kecamatan Samatiga sekarang). Adek T. Raja Sulaiman adalah T. Raja Muda di Cot Seumeureung Kecamatan Samatiga sekarang.8 Anak T. Raja Muda adalah Cut Gamba Ratna (tinggal di Gampong Seuneubok karena rumah beliau di Ujong Kalak habis dihantam Stunami pada tahun 2004....cari dan wawancara dengan T. Teungku Syamsuddin (mantan KUA di Cot Seumeureung).

T. Raja Sulaiman kawin dengan ........ dan menghasilkan keturunan empat orang yaitu Cut Intan, SE (pegawai PU dan tinggal di belakang komplek Muhammadiyah), Cut Laili, Cut Hajijar (sekarang berdomisili di Medan), dan seorang laki-laki .............

T. Raja Ansari adalah anak dari T. M. Saleh. Beliau tinggal di Nibong depan rumah kepala MAN Meulaboh. Anak T. Raja Ansari adalah Cut Putri Akmal Sari (guru MTsN Model Meulaboh I). T. Raja Ansari dinilai oleh sebagian masyarakat Aceh Barat berpengaruh, disegani oleh teman-temannya dan teman dekat dengan H. Nurdin Kana yang berasal dari Kajeung Kecamatan Sungai Mas. Mereka sama-sama pernah naik gunung menjadi anggota dan pengikut DI-TII pimpinan Teungku Muhammad Daud Beureueh pada tahun 1953. Kakek T. Raja Ansari bernama T. Ali Mando (T. Ali Akbar Uleebalang Meulaboh) yang berhubungan famili dengan Cut Ubit (anak Teungku Syik Dirundeng). Istri T. Ali Mando adalah adek Datok Puteh. Sementara anak T. Ali Mando/T. Ali Akbar adalah Cut Alon (sekarang tinggal di Gampong Rantau Panjang Kec. Meureubo), Cut Puteh, Cut..., dan T. M. Saleh. Jadi Cut Alon adalah kakak dari T. M. Saleh. Anak Cut Alon yaitu Cut Asmaran dan anak Cut Asmaran adalah Cut Absah (Kepala SD 14 Meulaboh sekarang). Jadi Cut Absah adalah cucu Cut Alon. Anak Cut Puteh T. Gade dan T. Abdullah pensiunan guru.
Sementara anak T. M. Saleh yang tertua T. Arifin (almarhum), T. Raja Ansari (masih hidup), T. Jufri Cot Darat (masih hidup), T. M. Ali (Kepala Kesbangpolinmas Aceh Barat), dan T. Saiful (Reusak) yang masih bekerja/pegawai pada Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh Barat.9

Sebelum nikah dengan Cut Ubut, T. Ali sudah memiliki istri dan di antara dari cucu istri tersebut adalah T. Amiruddin Tusba (mantan anggota DPRK Aceh Barat 1980-an). Jadi dengan demikian Cut Intan dan tiga saudaranya adalah cucu garis lurus dari Cut Ubit atau cicit/buyut Teungku Syik Dirundeng. Sementara T. Amiruddin Tusba yang kawin dengan Cut Rosmanidar pensiunan guru SD adalah cucu garis bengkok dari Cut Ubit atau cicit/buyut Teungku Syik Dirundeng, dan T. Amiruddin Tusba mempunyai tiga anak yaitu T. Amrizal, SH, Dedi Kurniawan, SE, dan Cut Intan, A.Md., Ked. Kesemua mereka sekarang menjadi pegawai pemerintahan Aceh Jaya.
Dengan demikian, anak Teungku Syik Dirundeng berjumlah tiga orang masing-masing di Aceh Selatan (Meukek/Sawang) dua orang laki-laki dan seorang perempuan di Meulaboh.
Di Aceh Selatan (sekarang Kota Subulussalam, sebuah Kota pecahan dari Kabupaten induk Aceh Selatan), terdapat sebuah desa yang bernama ”Rundeng”. Kata ”Rundeng” adalah laqab dari Teungku Syik tersebut yang di masa Belanda terdapat suatu tempat yang bernama ”Rundeng”. Dahulu nama ini adalah nama Desa Rundeng, sekarang menjadi Kecamatan Rundeng10. Rundeng tersebut menurut keterangan salah seorang penduduk Desa Rundeng (lebih kurang lima Km dari pusat Kota Subulussalam) terkenal sebagai tempat berunding raja-raja Aceh.11 Di sana juga terdapat/bermukimnya beberapa ulama besar Aceh seperti Syeikh H. Abdur Rauf As-Singkily dan Syeikh Hamzah Fansuri.
  1. Latar Belakang Pendidikan
Setelah mengaji dari kedua orang tuanya di rumah, Ia hijrah ke Aceh Selatan untuk memperdalam ilmu agamanya (di Kota Subulussalam terdapat sebuah Desa yang bernama Rundeng)12. Di Desa Rundeng ini beliau mengaji ilmu agama Islam pada ulama besar nusantara yaitu Syeikh as-Syamsuddin al-Sumatrani.
Beliau mengaji/mencari ilmu pengetahuan agama dari ayahnya sendiri yaitu ... Pada masa-masa tersebut, Aceh masih mengangkat senjata melawan kekuatan Belanda. Karena gempuran pasukan Belanda sangat dahsyat, beliau akhirnya menguatkan niat untuk berhijrah/merantau ke Aceh Selatan. Setelah menguasai ilmu di lembaga pengajiannya Rundeng, T. Teungku Abdullah muda pindah/pergi ke Sawang (Aceh Selatan). Di sini beliau membuka pesantren sebagai media pendidikan agama bagi generasi selanjutnya. Akhirnya beliau nikah di desa Meukek sehingga digelarlah beliau dengan ”Teungku Meukek” atau ”Teungku Batee Tunggai” karena beliau pernah berkiprah di Sawang.


  1. Masa Hidup dan Perjuangan Teungku Syik Dirundeng

Masa hidup dan perjuangan Teungku Syik Dirundeng ketika Sulthan/Raja Aceh dipimpin oleh Sulthan/Raja Alaiddin Djauhar Alam Sjah (1217-1245 H = 1802-1830 M), Sulthan Alaiddin Muhammad Daud Sjah I (1245-1254 H = 1830-1838 M), Sulthan/Raja Alaiddin Sulaiman Ali Iskandar Sjah (1254-1257 H = 1839-1841 M), Sulthan/Raja Alaiddin Ibrahim Mansjur Sjah (1257-1287 H = 1841- 1870 M), Sulthan/Raja Alaiddin Mahmud Sjah II (1287-1290 H = 1870-1874 M), dan Sulthan/Raja Alaiddin Muhammad Daud Sjah II (1302-1357 H = 1884-1939 M). Dengan demikian peperangan dan perjuangan mempertahankan kedaulatan Aceh juga dilakukan oleh salah seorang ulama besar wilayah Barat selatan yaitu Teungku Syik Dirundeng, di mana kesemuanya itu berada dalam rentang waktu yang cukup panjang dan semasa dengan empat Sulthan/Raja Aceh yaitu mulai dari Sulthan/Raja Alaiddin Djauhar Alam Sjah sampai Sulthan/Raja Alaiddin Ibrahim Mansjur Sjah 1841-1870 M.
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa ayah dari Teungku Syik Dirundeng seorang ulama, maka seperti biasanya orang Aceh sering mendapat ilmu pengetahuan agama dari orang tuanya sendiri. Begitu juga halnya dengan Teungku Syik Dirundeng yang sejak kecil hingga remaja selalu mendapat bimbingan dari kedua orang tuanya dan diajarkan pengetahuan agama Islam oleh ayahnya. Adapun kitab-kitab yang diajarkan diantaranya mulai dari kitab jawi sampai kitab arab. Diantaranya ialah kitab Fathun Qarib, Ianatut Thalibin, Mahalli, nahwu, sharf, ma’ani, bayan badi’, ilmu tawhid, ilmu manthiq (kitab Shuban manthiq), dan seterusnya. Kitab-kitab yang mengarah kepada sufisme karya Imam Al-Ghazali seperti Hidayatus salikin juga ia pelajari dari ayahnya sendiri.
Selain dari orang tuanya sendiri, Teungku Syik Dirundeng juga memperdalam ilmu pengetahuan agama Islam-nya dari ulama-ulama besar seperti Syeikh H. Abdur Rauf As-Singkily dan Syeikh Hamzah Fansuri.

Seiring dengan kondisi masa itu, dimana peperangan dengan Belanda menggunakan sistem gerilya, maka rimah dan tempat pengajian pun berpindah-pindah karena dikejar-kejar dengan serdadu belanda. Melihat banyaknya kitab yang diajarkan oleh ayahnya kepada beliau, dapat dimengerti kalau Teungku Syik Dirundeng pada masa mudanya dapat menguasai beberapa ilmu pengetahuan agama Islam seperti ilmu nahwu, ilmu sharf, ilmu tawhid, dan ilmu manthiq.
  1. Peran dalam Dunia Pendidikan
Semenjak berdirinya Kerajaan Islam Peureulak (hari selasa 1 muharram 225 H=840 M) sampai-sampai jatuh Kerajaan Aceh Darussalam (1903 M), telah banyak didirikan taman-taman pendidikan di Aceh dengan nama ”DAYAH” baik tingkat menengah ataupun tingkat tinggi.13 Menurut data yang dikumpulkan oleh Prof. H. Ali Hasjimy (mantan Gubernur Aceh, mantan Rektor IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, dan sejarahwan Aceh yang terkenal), terrekam 22 Dayah yang ada di Aceh dan termasuklah salah satunya ”Dayah Rundeng” yang didirikan oleh Teungku Cyik Di Rundeng,14 dan oleh Ali Hasjimy disebutkan ”belum jelas riwayatnya”.
Hingga tahun 1957, Dayah Rundeng yang waktu masa Belanda dipimpin oleh Teungku Syik Dirundeng/T. Teungku Abdullah itu masih ada bekasnya yaitu berada di lokasi kuburan Taman Makam Pahlawan di Gampong Rundeng sekarang. Penerus atau pengikut Teungku Syik Dirundeng mengadakan pengajian dan di antara yang mengaji waktu itu terdapatlah Tuan Zainah, Cut Eumpeuk, Cut Cicek, dan Cut Aja Cicek.15
  1. Murid-murid dan Pengikutnya
Murid-murid tgk dirundeng banyak sekali artinya bila dikalkulasikan lebih dari seratusan baik murid tua maupun murid muda. Di antara teungku dalam wilayah kependudukan Kaway XVI mulai Kuala meureubo, pucok Krueng Meulaboh hingga Sungai Mas. Misalnya Teungku Muhammad Ali (nenek dari Tgk. H. Mukhtar Daud, Pimpinan Pesantren Darus Sa’adah Leuhan, Kecamatan Johan Pahlawan).
Murid yang sangat terkenal sekaligus menjadi pejuang dan mendapat gelar Pahlawan nasional adalah T. Umar Johan Pahlawan.16 Selain Hasballah M. Saad yang menyatakan bahwa T. Umar Johan Pahlawan sebagai murid Teungku Syik Dirundeng, T. Amiruddin Tusba, T.H.M Yatim dan Teungku Hasyim Ubit juga berpendapat demikian.
Murid-murid Teungku Syik Dirundeng secara umum dibagi dua, ada yang menjadi ulama dan ada yang menjadi pejuang melawan kafir Belanda. Diperkirakan murid beliau selain yang tersebut di atas, termasuk Said Usman (ayah Said Husein meninggal dalam umur 80 tahun, beliau pensiaunan ). Said husein sendiri adalah ayah Drs. Said Rasyidin (Ketua KAHMI Aceh Barat periode 2004-2009). Berarti Said Usman itu adalah kakek beliau yang memiliki keahlian menghafal al-Qur’an (Hafidh) dan berasal dari Jeuram (wilayah Nagan Raya sekarang). Sedangkan adek Said Usman yaitu Habib Cut Rambong (Kakek Drs. Said Saifullah yang sekarang tinggal di gampong Seuneubok).17
Nektu Tgk H. Mukhtar Daud adalah Tgk. Muhammad Ali (meurateb lam kubu), H. Dawud, dan Tgk. Mu’allim (umur lebih 100 tahun sudah meninggal Agustus 2009) juga murid-murid lainnya yang diperkirakan oleh Tgk. H. Mukhtar Daud termasuk murid Teungku Syik Dirundeng.
Selain beberapa murid tersebut, Habib Saleh juga termasuk salah seorang murid Teungku Syik Dirundeng.
  1. Wafatnya

Anggapan Belanda bahwa laki-laki tersebut adalah Teungku Dirundeng, padahal sesungguhnya bukan. Belanda mengambil orang yang dianggapnya Teungku Dirundeng tersebut dan membawanya ke markas dan kemudian dibakar hidup-hidup. Karena sangat marahnya Belanda kepada Teungku Syik Dirundeng, maka debunya dibuang ke laut sebagai indikasi untuk menghilangkan jejak. Sesungguhnya Belanda tertipu oleh siasat peperangan yang dibangun oleh Teungku Syik Dirundeng karena beliau berhasil lolos menyelamatkan diri dan berjalan terus menelusuri jalan pinggir sungai dan akhirnya naik sampan pergi yang hingga hari ini tidak diketahui kuburnya.18
Ketiadaan bekas apapun yang menandakan bahwa beliau telah meninggal, tidak ditemukan datanya. Akan tetapi sebagian orang mengatakan bahwa beliau telah meninggal dan syahid yang dikebumikan di dekat Puskesmas Johan Pahlawan, dimana di depan Puskesmas tersebut terdapat sebatang pohon rundeng, dan kuburan beliau di samping pohon rondeng itu.19
Di sini ia mengembangkan ilmunya dengan mengajarkan pengajian agama pada masyarakat setempat. Karena kehadiran Aceh Barat (Meulaboh) dan setelah berkeluarga di Aceh Barat, beliau berhijrah lagi ke Aceh Selatan (dahulu terkenal dengan wilayah Selatan Aceh). Diperkirakan tahun meninggal Teungku Syik Dirundeng ini sekitar 1865. Dengan demikian umur beliau sekitar .... tahun, suatu umur yang cukup matang dan banyak mendidik kader ulama yang telah tersebar ke berbagai pelosok.


  1. Pengaruh dan Peninggalannya
Hasil keputusan rapat pengurus setelah membentuk yayasan yang bergerak di bidang pendidikan memberikan nama nama yayasannya dengan ”yayasan pendidikan Teeungku Syik Dirundeng Meulaboh”. Pada awalnya forum kebingungan untuk menentukan nama yasyasan. Banyak usulan nama tidak menarik di hati pengurus. Di antara yang hadir Hadir adalah T. Amin Khan, Ust. Ibnu Hajar, Drs. Razali Aziz, Malek Ridwan Badai, SH (Bupati Aceh Barat saat itu), dan T. Amiruddin Tusba, dan H. T. Bustami Puteh, SE (Mantan Ketua DPRK Aceh Barat, dan bekas Wakil Ketua DPR Aceh Fraksi PAN periode 2005-2009).

Peninggalan Teungku Syik Dirundeng Meulaboh hingga penelitian ini dibuat, belum ditemukan dalam bentuk kitab atau tulisan atau karya-karya lain, melainkan sejumlah tanah yang terletak di Dolog, kompleks Muhammadiyah. Menurut keterangan T. Amiruddin Tusba, peninggalan Teungku Syik Dirundeng yang sering disebut-sebut oleh Cut Ubit (anak perempuannya) adalah selembar serban yang sering dipakai oleh ayahnya baik di setiap mengajarkan mengaji maupun ketika berunding atau bermusyawarah, bahkan hampir setiap saat dipakainya.
Di masjid/dahulu balai di Rundeng terdapat sebuah peninggalan Teungku Syik Dirundeng yaitu sebuah batu tipis yang bentuknya kekuning-kuningan dan selalu digunakan untuk mencuci kaki beliau sewaktu hendak naik ke atas balai.

Pengaruh Teungku Syik Dirundeng dapat dikatakan besar karena dari rekam jejak sejarahnya, terdapat sebuah jalan di wilayah Sawang yaitu Jalan Teungku Syik Dirundeng. Di Sawang Aceh Selatan, nama beliau terkenal dengan ”Teungku Batee Tunggai” (Teungku Batu Tunggal dalam bahasa Indonesia).
Masjid Al-Muqaddas Gampong Ujong Tanoh Darat beserta tanahnya adalah peninggalang beliau yang dihibahkannya. Kuburan yang berada pada tanah yang tinggi di Gampong itu juga dan letaknya di pinggir Masjid, juga harta peninggalannya juga telah diwaqafkan. Kantor Dolog yang berada di samping kuburan juga milik beliau dan sudah dihibahkan kepada pemerintah/kebutuhan negara. Komplek pembangunan Muhammadiyyah dan Akbid yang berada di sampingnya, juga pemberian Teungku Syik Dirundeng. Masjid Nurul Huda dan Kompleks STAI Teungku Dirundeng, MIN, dan MTsN Nurul Huda juga pemerian beliau kepada tempat ibadah dan pendidikan agama Islam.
Pada tahun 1850-an di mana waktu itu termasuk wilayah kekuasaan Uleebalang T. Rayeuk, dikenal nama Teungku Syik Dirundeng, karena anak beliau Cut Ubit kawin dengan Uleebalang Bubon (waktu itu Samatiga masuk dalam wilayah Uleebalang Bubon.

Pada zaman pergolakan Aceh melawan kezaliman penjajah Belanda, di Meulaboh (sekarang Ibu Kota Kabupaten Aceh Barat) terdapat seorang Ulama Besar yang mendirikan sebuah Dayah pusat pendidikan Islam dikawasan Rundeng Tuha (sekarang Kelurahan Rundeng Meulaboh Kecamatan Johan Pahlawan). Tokoh Ulama itu dilaqabkan dengan nama “Teungku Chik di Rundeng”.
Saat kejatuhan Meulaboh yang bersamaan dengan syahidnya “Teuku Umar Djohan Pahlawan” , Teungku di Rundeng pun mengalami nasib yang sama, malah sampai kini tidak diketahui pasti pusaranya, yang jelas beliau telah berjasa besar dalam usaha pembaharuan pendidikan Islam dan perjuangan menumpas penjajah di zaman itu. Selanjutnya, diketahui tidak ada penerus untuk aktivitas dayah tersebut, ia terkubur bersama dengan tumbuh suburnya rezim pemerintahan Ulee Balang yang berpihak kepada pemerintah Belanda dan Jepang.
Dalam rentang waktu yang panjang sejak awal kemerdekaan, orde lama bahkan sampai pertengahan pemerintahan orde baru sebenarnya telah dirintis usaha-usaha melahirkan suatu wadah baru yang dapat menjawab permasalahan pendidikan di Aceh Barat, antara lain dengan membangun wadah-wadah pendidikan tingkat dasar dan menengah oleh organisasi Muhammadiyah serta lahirnya sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA) dan MAAIN (sekarang MAN). Dari itulah, kemudian termotivasi untuk melahirkan suatu lembaga Pendidikan Tinggi di bawah pengelolaan dan pembinaan suatu Yayasan Pendidikan yang modern.
Tahun 1983 para ulama dan pemuka masyarakat bekerjasama dengan pemerintah setempat merintis berdirinya suatu yayasan pendidikan yang sasaran utamanya adalah mendirikan Perguruan Tinggi Swasta. Ternyata, pada tahun 1984 Yayasan tersebut berhasil diwujudkan dengan nama “Yayasan Pendidikan Teungku Di Rundeng Meulaboh”. Nama “Teungku di Rundeng diabadikan pada yayasan tersebut.20

Tepatnya tanggal 28 Agustus 1984 yayasan tersebut resmi terbentuk dengan Badan Hukum Akte Notaris “Hamonongan Silitonga” Banda Aceh Nomor 45 Tahun 1984. Yayasan ini bercita-cita membangun suatu wadah pendidikan tinggi di Aceh Barat, yaitu “Universitas Teuku Oemar Djohan Pahlawan”. Tentu cita-cita itu tidaklah mudah semudah membalikkan telapak tangan, persiapan kearah itu dengan perhitungan ke depan yang matang dan pasti.
Langkah awal yang diupayakan adalah mendirikan “ Sekolah Pembangunan Pertanian “ yang diiringi dengan mendirikan “ Akademi Pertanian Meulaboh “ yang selanjutnya menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian (STIP) Teungku Di Rundeng Meulaboh, lembaga pendidikan itu jelas bersifat umum dan kejuruan, untuk itu sangat perlu diimbangi dengan pendidikan agama, sehingga kehadiran lembaga pendidikan tinggi agama dilingkungan yayasan inipun harus segera diwujudkan.
Dalam rentang waktu yang tidak lama, tokoh-tokoh masyarakat, para ulama yang dimotori oleh Departemen Agama Kabupaten Aceh Barat, MUI dan Korp Alumni IAIN Ar-Raniry (Koniry) Aceh Barat memprakarsai berdirinya Fakultas Tarbiyah di Meulaboh. Rumusan hasil kesepakatan tersebut diajukan kepada pihak Yayasan Pendidikan Teungku Di Rundeng Meulaboh dan pada akhirnya disepakati untuk pendirian Fakultas Tarbiyah tersebut dibawah Yayasan Pendidikan Teungku Di Rundeng Meulaboh dengan Surat Keputusan Nomor 06/Kep/YPRM/1985 tanggal 2 Januari 1985 yang diresmikan oleh Bupati KDH Tk. II Aceh Barat H. Malik Ridwan Badai , SH.
Satu tahun kemudian , Fakultas ini mendapat status izin opersaional dari Kopertais Wilyah V Aceh (surat Nomor : IN/3/3369.A.I/1986 tanggal 17 Desember 1986) dan sejak itu pula proses administrasi dan akademik dilaksanakan , Tahun 1990 Fakultas Tarbiyah memperoleh status resmi : Terdaftar” dengan SK Menteri Agama RI Nomor : 60 tahun 1990, dengan nama : Sekolah Tingi Ilmu Tarbiyah Teungku Dirundeng Meulaboh dengan jurusan Pendidikan Agama Islam” Untuk empat tahun kemudian Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah mampu memperpanjang statusnya terdaftar dengan SK Menteri Agama RI Nomor : 346/ tahun 1995.
Pada tahun 2000 Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Teungku Di Rundeng Meulaboh mendapatkan status “ Terakreditasi “ dari Badan Nasional Perguruan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional RI Nomor : 010/BAN-PT/AK-IV/VI/2000 tanggal 23 Juni 2000.
Melihat perjalanan sejarah dan perkembangan yang dicapai selama lebih kurang 20 tahun, dimana Sekolah Tinggi Agama Islam sesuai dengan SK Dirjen Depag RI telah diberikan Program SI dan D2 sebagai berikut :
1. Pendidikan Agama Islam (Tarbiyah) dengan izin diakui berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI Nomor : DJ.II/34/2004 tanggal 17 April 2003 dan Status Terakreditasi dengan peringkat B dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional RI B dari Badan Akreditasi nasional Perguruan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional RI dengan Surat Keputusan Nomor : 010/BAB-PT/Ak-IV/VI/2000 tanggal 23 Juni 2000 dan sekarang sedang diusul kembali untuk perpanjangan Status Terakreditasi.

  1. Muamalah (Syariah) dengan Izin diakui berdasarkan Surat Keputusan Derektur Jenderal Pendidikan Agama Islam Nomor : Dj.II/ 34 /2003 tanggal 17 April 2003.
  2. Komunikasi Penyiaran islam (Dakwah) dengan Izin dakui berdasarkan Surat Keputusan Derektur Jenderal Pendidikan Agama Islam Nomor : Dj. II/ 34 /2003 tanggal 17 April 2003.
  3. Program Diploma II Guru Pendidikan Agama Islam (GPAI) Status : terdaftar berdasarkan Surat Keputusan Koordinator Kopertais Wilayah V Aceh Nomor : 4647/Kopertais /V/2003 tanggal 9 September 2003
  4. Program Diploma II Pendidian Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) Staus : terdaftar berdasarkan Surat Keputusan Koordinator Kopertais Wilayah V Aceh Nomor : 4637 / Kopertais/V/2003 , tangga

B. Tujuan Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI)
Tujuan umum Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) adalah untuk mendidik Mahasiswa menjadi sarjana yang memiliki keahlian dalam ilmu agama Islam, bertaqwa kepada Allah SWT, bermoral tinggi, berakhlak mulia, berilmu, beriman dan bertanggung jawab terhadap agama, nusa dan bangsa dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia.
Berdasarkan tujuan umum tadi, maka tujuan khusus yang ingin dicapai antara lain :
  1. Untuk menghasilkan sarjana-sarjana muslim yang berpendidikan agama, tanggap dan terampil terhadap kemajuan agama dan perubahan serta kemajuan ilmu pengetahuan/tekhnologi yang ada kaitannya dengan keahliannya.
  2. Untuk mempersiapkan tenaga-tenaga ahli komunikasi informatika (Jurnalistik dan Percetakan) serta Bimbingan Penyuluhan Agama Masyarakat (Dakwah) yang mampu melaksanakan tugasnya, baik dalam bentuk formal dan non formal sesuai dengan profesinya.
  3. Untuk menghasilkan sarjana-sarjana yang memiliki dasar-dasar pengetahuan dan metodologi penyampaian pendidikan pada umumnya (Tarbiyah) serta mampu memahami, memneruskan, menjelaskan serta merumuskan cara-cara penyelesaiannya.
  4. Untuk menghasilkan tenaga-tenaga ahli dalam bidang sosial kemasyarakatan Islam dan kemampuan strategi penyusunan Undang-Undang tentang Peradilan dan Norma Kemasyarakatan (Syari’ah).
  5. Untuk dapat mengabdikan diri dengan sebaik-baiknya dalam beribadah kepada Allah SWT.
lah sekarang, boleh juga Rundeng itu dinamakan dengan Dayah, Ma’had, atau pesantren. Di sinilah Teungku Syik Dirundeng kecil menimba ilmu sehingga ia menjadi salah seorang ulama besar di Aceh. Desa Rundeng dahulu telah berubah nama sekarang menjadi Kecamatan Runding yang berdampingan dengan dua kecamatan lainnya yaitu Kecamatan Simpang Kiri dan Longib.
Share on Google Plus

About elnawir

1 comments: